Sabtu, 06 November 2010

Step Up 3D



Jakarta - Tarian adalah media. Ia adalah identitas. Dansa juga bisa membuat kita menjadi diri sendiri, atau sebaliknya, menjadi orang lain. Pada 'Step Up 3D', lagi-lagi kita disuguhi bahwa tarian adalah kehidupan, sepanjang kita punya panggilan jiwa terhadapnya.

Tarian —tentu saja kita bisa menggantinya dengan film,musik, komik, lukisan, atau apapun yang menjadi passion kita— di film berdurasi 107 menit ini digambarkan lebih dari sekadar hiburan atau selingan belaka. Sebenarnya, sejak dulu kita sering disuguhi film yang penuh dengan dansa-dansi sebagai sentralnya, sebut saja film-film breakdance semacam 'Breakin' atau 'Dirty Dancing' —yang kemudian menjadi inspirasi bagi 'Gejolak Kawula Muda' dan 'Tari Kejang'.

Acara televisi macam “So You Wanna Dance” atau fenomena Brandon di 'Indonesia Mencari Bakat' juga membuat lebih banyak orang menyukai tarian kontemporer. Bagaimana dengan 'Step Up 3D' yang adalah seri ketiga film tari ini? Sebenarnya tidak berbeda dengan kedua film sebelumnya, 'Step Up' dan 'Step Up: The Streets', atau film sejenis pada umumnya. Intinya adalah kecintaan pada dunia tari-menari, lantas ada perlombaan dan perjuangan menjadi pemenangnya.

Film yang disutradarai Jon Chu ini diawali dengan berbagai footage anggota House of Pirates tentang pendapat mereka seputar dansa dan bagaimana itu mengubah hidup mereka dan sekitarnya. "Menari bisa mengubah dunia!” ujar Moose (Adam Sevani) sang tokoh utama, sembari memberi contoh gerakan Elvis Presley dan "moonwalker" Michael Jackson. Dari sini kita tahu bahwa tarian lebih dari sekadar pencarian jati diri atau pemuasan eksistensi dan cari keuntungan.

Moose dan Camille (Alyson Stoner) baru tiba di New York sebagai mahasiswa baru. Tak sengaja, Moose terlibat dalam pertarungan tarian dengan House of Samurai, salah satu kelompok tercadas yang berambisi menjadi raja melantai pimpinan Julien (Joe Slaughter). Dan, ia pun secara tak sengaja diselamatkan oleh pemimpin House of Pirates, Luke (Rick Malambri) yang memakai sepatu Nike edisi Gun Metal yang amat langka dan membuat Moose menelan ludah.

Luke dan anggota kelompoknya juga ingin memenangkan kompetisi dansa kelas dunia, World Jam. Dalam usaha perekrutan, ia kepincut dengan gadis misterius, Natalie (Shari Vinson). Dan, tentu saja, masalah muncul. Moose bermasalah membagi waktu antara menari dengan belajar di Jurusan Teknik dan juga bercengkrama dengan Camille. Ia pun sudah kadung berjanji kepada orang tuanya akan berhenti menari dan fokus pada studinya.

Luke juga punya problem dengan Natalie, yang jelas mempengaruhi kesiapan mereka bertanding. Sementara itu, markas besar mereka —yang sudah menunggak sewa 5 bulan— akan terancam disita dan dilelang untuk publik, dan…akan dibeli oleh Julian, musuh bebuyutannya yang kaya raya. Dan tentu kita bisa menebak akhir cerita macam ini.

Secara umum, film ini berhasil menangkap élan vital, semangat dan kecintaan akan tari dan kehidupan. Namun ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, ketidakjelasan siapa yang menjadi tokoh utama. Apakah Moose atau Luke? Apakah ini menjadi multiplot, atau cerita tidak fokus? Kedua, jika diumpamakan film silat, maka biasanya akan dijelaskan jurus-jurus andalan dan senjata rahasia yang nantinya bakal dikeluarkan jika sang jagoan terdesak —hal itu tidak ada di film ini. Juga, terlalu banyak kebetulan dan penyederhanaan masalah.

Setidaknya film ini berhasil membuat penontonnya keluar dari stereotip dan mitos. Misalnya, bahwa tarian adalah milik kaum hawa, dan kaum lelaki akan berkurang ke-machoan-nya jika berdansa. Buktinya, film ini didominasi oleh pria berotot dan berperut kencang. Setidaknya film ini sukses ingin membuat saya kembali kebelet untuk mengunjungi New York —setelah sebelumnya dikompori oleh “Friends” dan “How I Met Your Mother”— dan mencari edisi terbatas Nike yang keren itu.

Ah, ya, sepertinya format 3D tidak banyak berguna di sini. Memang cukup membantu menikmati adegan, tapi tidak terlalu signifikan. Apalagi, demi estetika 3D, banyak adegan penari berdansa solo di hadapan kamera, sambil meliuk-liukkan tangan menjulur seolah-olah ke luar layar, yang justru “nggak banget deh”.
(mmu/mmu)

0 komentar:

Posting Komentar